Perang Yaman tahun 2017 silam meninggalkan kesan mendalam bagi TGH Abdullah Zulfa. Dari perang itu, dia mengenal sosok Lalu Muhammad Iqbal (LMI), Calon Gubernur NTB saat ini.

Oleh :
MUFIQ A WAHID – GERBANG INDONESIA

Kisah tentang sikap heroik Lalu M.Iqbal yang satu ini didapat gerbang indonesia.co.id dari seorang tokoh agama muda dari Montong Razaq Batunyala Praya Tengah, TGH.Abdullah Zulfa. Dia merupakan ulama muda lulusan Yaman yang terkenal sebagai negerinya para Habib.


MENYAPA KONEKSI
Dikisahkan ulama muda yang akrab disapa Buya Saki ini, 2017 lalu adalah masa sulit bagi seluruh mahasiswa yan ingin menuntut ilmu di negeri itu. Perang saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan sudah tidak bisa dihindari lagi.

Akibatnya, tidak satu pun mahasiswa yang diperbolehkan memasuki negeri itu karena kondisinya memang sangat mencekam. Tidak terkecuali mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Buya Saki sendiri sebenarnya merupakan mahasiswa senior di negeri itu, karena dia merupakan mahasiswa yang mulai menuntut ilmu sejak 2014.

Tetapi tahun 2017 itu, dia sebagai senior di Yaman dimintai bantuan oleh sekitar 250 mahasiswa asal Lombok wilayah Indonesia lainnya untuk menjemput mereka di perbatasan. Sebabnya, ratusan mahasiswa itu sudah tertahan di perbatas hampir seminggu lamanya.

Tidak berfikir dua kali, dirinya berangkat ke perbatasan dengan harapan bisa membawa para mahasiswa itu memasuki daerah Tarim sebagai tempat tujuan mereka menuntut ilmu. Alih-alih mendapat izin, justru Buya Saki dan para mahsiswa semakin ditahan dan tidak diizinkan memasuki kawasan itu.

“Saya akhirnya memutuskan untuk melobi ke KBRI,” kenangnya.

Sayang beribu sayang, KBRI di sana juga tidak memberikan izin. Alasannya masih sama, kondisi Yaman yang sedang mengalami perang saudara sangat membahayakan bagi para mahasiswa. KBRI tidak berani mengambil resiko.

Kecewa sudah pasti. Tapi menyerah tidak mungkin dilakukan, apalagi para mahasiswa ini sudah terbang begitu jauh dari negeri asal untuk menuntut ilmu dengan bekal seadanya. Sementara di perbatassan itu, bekal para mahasiswa hampir habis dengan kondisi yang juga tidak terlalu baik saat itu.

Peras otak dan menggulir gadget untuk mencari kontak beberapa orang yang diyakini bisa membantu akhirnya dilakukan. Beberapa orang dihubungi namun jawaban memuaskan tidak kunjung didapatkan. Sampai pada akhirnya, seorang kawan yang bertugas di Jakarta saat itu memberikan saran untuk menghubungi Lalu Muhammad Iqbal (LMI).

“Waktu itu saya sebenarnya pesimis, karena disuruh hubungi orang yang waktu itu saya tidak kenal sama sekali,” tuturnya kemudian.

Tapi karena tidak ada pilihan lain, dia akhirnya menghubungi satu-satunya orang yang direkomendasikan oleh kawannya itu. LMI sendiri masih bertugas di kementerian luar negeri.

Aplikasi WhatApp melalui pesan singkat dan bukan langsung menelpon menjadi opsi untuk menghubungi. Sempat yakin tidak akan dibalas, namun keyakinan itu ternyata tidak terbukti. Tidak berselang lama, pesan itu ternyata dibalas oleh LMI.


PERDEBATAN DAN ANCAMAN
Melanjutkan kisahnya, TGH. Abdullah Zulfa sebelumnya menyunggingkan senyum kepada media ini. Dia mengatakan, bahwa saat itu dirinya sempat berdebat sengit dengan LMI yang di kemudian hari disapanya dengan Miq Iqbal.

Pedebatan itu bukan tanpa alasan. Ternyata Miq Iqbal dalam komunikasinya itu juga mengusulkan agar para mahasiswa tidak memasuki wilayah Yaman.

“Miq Iqbal malah sempat meminta mahasiswa membatalkan studi di Yaman dan mengusulkan agar pindah ke Mesir,” katanya mengungkapkan sebagian hasil chatingnya melalui via WA bersama LMI itu.

Dia mengaku sempat kecewa dan marah atas jawaban Miq Iqbal itu. Namun kekecewaan itu masih bisa dikendalikan. Dia dan beberapa calon mahasiswa mulai berkomunikasi lagi, tapi kali ini dengan tujuan untuk menggeruduk KBRI. Ratusan mahasiswa mengancam dan menyatakan siap melakukan aksi demo besar-besaran di bawah komando Buya Saki demi bisa menimba ilmu di negeri mulia itu.

Persiapan sudah dilakukan, beberapa orator sudah dipersiapkan, tuntutan juga sudah siap dilayangkan, tinggal aksi yang masih menunggu waktu yang tepat. Dua hari lagi rencana itu akan dilaksanakan.

Dalam rentang waktu itu, komunikasi juga sebenarnya masih dilakukan. Dia masih menaruh harapan agar tidak jadi melaksanakan demonstrasi sebab dipastikan akan terjadi kericuhan mengingat para mahasiswa masih emosi.

Beruntung, sebelum aksi itu, LMI akhirnya memutuskan untuk berangkat lansgung ke Yaman dan memastikan sendiri kondisi di sana. Dengan catatan, jika kondisi memang sangat tidak memungkinkan, mahasiswa memang harus menerima untuk dipulangkan atau pindah ke negeri lain untuk menuntut ilmu.

“Saya sepakat waktu itu, karena saya tahu kalau sebenarnya Tarim sebagai tujuan masih relatif aman dan bisa dimasuki mahasiswa,” ceritanya yang kali ini dia bumbui dengan senyum yang lebih lebar.


EMPAT BIS
TGH.Abdullah Zulfa melanjutkan kisahnya di wilayah perbatasan kala itu. Sesuai jadwal yang ditentukan, akhirnya LMI tiba di Yaman saat itu dan langsung menuju KBRI. Mahasiswa yang berjumlah ratusan itu pun dengan hati yang berdebar masih menunggu keputusan.

Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh sampai sembilan puluh menit berlalu, akhirnya LMI keluar dari gedung mewah KBRI itu guna memberikan keterangan kepada mereka.

Saat itu, semuanya diam menunggu Miq Iqbal mengumumkan hasilnya. Di depan Buya Saki dan perwakilan mahasiswa yang hadir saat itu, Miq Iqbal tidak memberikan pengumuman secara langsung, tapi dengan dengan sebuah kalimat yang tidak disangka sebelumnya.

“Saya akan siapkan empat bis, semoga cukup untuk mengangkut adik-adik semua ke Tarim,” ungkap Buya Saki menirukan kalimat LMI saat itu.

Sempat tertegun, para mahasiswa ini seolah tidak percaya dengan kalimat yang dilontarkan. Setelah sadar sepenuhnya, tidak ada satupun dari mereka yang tidak melakukan sujud syukur. Bahkan, mahasiswa yang tidak berada di kawasan KBRI dan masih tinggal di penampungan yang mendengar kabar itupun ikut melakukannya.

“Gartis…Iya beliau yang mencarter keempat bis itu, kami tidak dibebani sama sekali,” tegasnya melanjutnya kisah waktu itu.


OASIS
Setelah persiapan untuk keberangkatan dilakukan, satu persatu mereka memasuki bis yang sudah diboking Miq Iqbal sebelumnya. Koper-koper berisi pakaian dimasukan ke dalam bagasi dan perlahan tapi pasti, bis-bis itu meluncur ke arah Tarim. Tujuan utama mereka saa itu.

Yang mengejutkan, LMI yang awalnya hanya dikira akan mengurus mahasiswa sampai di perbatasan dan KBRI saja ternyata ikut serta mengawal mereka. Meskipun perjalanan dari perbatasan ke Tarim itu membutuhkan waktu beberapa jam.

“Beliau ikut serta untuk memastikan kami sampai di tujuan dengan selamat, dan itu sangat berkesan,” kisahnya.

Meski jauh, perjalanan itu ternyata tidak dirasakan berat oleh mereka. Hanya ada kebahagiaan karena seolah terlepas dari penjara yang menyiksa mereka.

Sampai di tujuan, mahasiswa tidak langsung ke pondok masing-masing. Dengan sukarela dan tanpa komando berlebihan, mereka berkumpul di satu tempat, menunggu LMI yang dianggap sebagai pahlawan mereka saat itu.

Dan kalimat singkat yang meluncur dari Miq Iqbal saat itu seolah menjadi gambaran Tarim sebagai tempat mereka belajar dan sekaligus menjadi motivasi mereka untuk menjadi lebih baik.

“Keputusan yang saya ambil sepertinya sudah tepat, karena saya melihat Tarim ini laksana Oasis di tengah padang pasir. Belajarlah dan bawalah ilmu seluas padang pasir sedalam lautan ke negeri kita nanti,” ucap Buya Saki yang menirukan Iqbal sebagai penutup ceritanya saat itu. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here